Tag

,

Focus Group Discussion (FGD), adalah forum diskusi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dalam rangka mempersiapkan strategi rencana program / kegiatan jangka menengah pemerintah pusat. Forum ini bertujuan untuk mendengar saran dan pendapat, atau lebih tepatnya keinginan serta harapan ke depan yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di daerah dalam rangka mengcover kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya dan memprioritaskan program / kegiatan yang lebih urgen untuk nantinya diimplementasikan secara general dan berlaku untuk seluruh pemerintah dan masyarakat daerah. Demikian kira-kira pengertian FGD menurut saya.

Kamis lalu saya ditugaskan menjadi notulen dalam FGD yang diselenggarakan oleh Depkominfo tersebut. Ini adalah FGD saya yang kedua. Menjadi notulen dalam diskusi 2 jam tanpa henti adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah (mendengar, menelaah dan menulis secara bersamaan dengan hasil rangkuman yang enak dibaca langsung dari layar dalam sekejap), terhitung lebih mudah sih ketimbang FGD perdana saya yang berlangsung dari pagi sampai sore hari. Kali ini masalah yang dibahas adalah rencana pembangunan Nasional ICT Training Center yang diperuntukkan bagi para Pegawai Negeri Sipil (baik di daerah maupun pegawai pusat) dan karyawan swasta diluar PNS. Sekeretaris Menteri Kominfo langsung datang dari Jakarta untuk memimpin jalannya diskusi dengar pendapat. Anggota / narasumber terdiri dari para akademisi beberapa perguruan dan lembaga pelatihan IT di Pontianak, unsur pemerintah yang diwakili Bappeda dan BKIKD Provinsi, serta perwakilan dari masyarakat telematika Kalimantan Barat.

Setiap kali saya diikutkan dalam acara-acara seminar, pelatihan maupun diskusi seperti ini, saya selalu kagum sekaligus senang karena pengetahuan saya selalu bertambah, apalagi jika fokus pembicaraan tidak jauh dari bidang yang saya geluti dan pahami. Namun tidak jarang pula telinga saya memanas dan mulut saya hampir tak kuasa menahan keinginan untuk ikut mengeluarkan pendapat, dan segera saya menyadarkan diri saya sendiri bahwa bukan kapasitas saya untuk bicara, mengingatkan diri sendiri bahwa kewajiban dan hak saya hanyalah mencermati dan mencatat. Keterbatasan kapasitas seperti inilah yang seringkali membuat saya stres karena tidak berhasil mengungkapkan fakta dan pendapat yang “menurut saya” berdasarkan pengalaman, pemikiran dan pendapat saya sebagai diri pribadi dan abdi negara, daerah sekaligus masyarakat. Tidaklah saya akan berbicara panjang lebar mengenai kesejahteraan negara, tetapi yang akan saya ungkapkan biasanya hanya masalah di sekitar yang hampir berlaku di seluruh jajaran pemerintahan maupun kelompok masyarakat kecil (secara saya bekerja di lingkungan pemerintah lima hari dalam seminggu). Terkadang, jika ada kesempatan, di sela-sela atau akhir acara saya mendekati si pembicara untuk mengeluarkan uneg-uneg yang banyak mengganjal di hati, dan tanggapannya so far so good, paling tidak aspirasi saya sudah tersampaikan.

Kembali pada FGD, ICT Training Center yang sedang dibangun adalah hasil kerjasama / bantuan luar negeri dari negara Korea, dan dibangun di dua area yaitu areal Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatullah dan di suatu areal di daerah Jababeka, masing-masing diperuntukkan untuk pelatihan bagi PNs dan karyawan umum. Pada umumnya masing-masing peserta diskusi tampak sangat setuju terhadap pembangunan lembaga pelatihan di bidang Teknologi Informasi tersebut. Pendapat demi pendapat digulirkan, hingga sampailah pada satu lontaran  opini yang menyatakan bahwa bukan menjadi kewajiban PNs untuk mendapatkan pendidikan IT yang sedemikian komplit, kasarnya PNS tidak harus bisa Programming, PNS tidak harus advanced jaringan, pekerjaan PNS hanyalah sebagai pelayan publik, urusan teknis serahkan sajalah kepada pihak ketiga alias swasta (anda bisa menebak kan, dari kalangan mana bapak pembicara ini?).
Salah seorang lainnya menguatkan opini tersebut, apalagi dengan kemungkinan ke depan yang kurang realistis, bahwa satu ICT- Training Center yang hebat tidak akan mampu mendidik semua PNS di seluruh provinsi sampai ke setiap kabupaten / kota. Disinilah peran serta pihak swasta, untuk urusan pembangunan sistem serahkan sajalah kepada mereka, selanjutnya PNS hanya perlu mendapatkan edukasi terkait program yang dibuat, sebatas menggunakan, paling banter mengeditlah.

Sampai disini saya masih berharap ada yang membela kebutuhan konsumsi ilmu seorang PNS, tapi harapan itu langsung kandas begitu saya dan teman-teman lulusan “komputer” dimisalkan sebagai perumpamaan bahwa kami memang tidak bisa berbuat apa-apa. Well, okelah kalau cukup diri saya pribadi yang dihina, saya terima, tapi sungguh bukan cerminan bijaknya seorang petinggi pemerintahan kalau almamater ikut dibawa-bawa sebagai faktor penentu bisa atau tidaknya seseorang mengaplikasikan ilmunya. Cukup berat saya menahan emosi yang hampir meledak, saya ingin membela diri, saya punya alasan untuk membela orang-orang seperti saya, tapi lagi-lagi saya menyadarkan diri untuk tidak melanggar kode etik seorang staf / bawahan. Padahal dalam hati saya berkata “siapa suruh saya ditempatkan di bagian yang tidak sesuai dengan basic pendidikan saya?“, dan “hah, syukur-syukur saya masih bisa rangkap pekerjaan, surat tugas di keuangan tapi masih bisa menuliskan beberapa baris script atau create table dalam sehari” << cukup2, saya sudah mulai narsis nih.

Saya setuju tentang pendapat bahwa pemerintah sebagai pelayan publik tidaklah harus menguasai semua ilmu teknologi informasi, cukup mempelajari apa yang menjadi tanggung jawab sesuai tugas dan jabatan saja (kalau begitu saya cukup tahu Microsoft Excel dan Word saja, titik). Saya kurang setuju namun tidak juga menolak pendapat bahwa pekerjaan yang sangat teknis cukuplah dikerjakan oleh pihak ketiga, atau kasarnya pengetahuan yang sangat teknis cukuplah dikuasai oleh pihak swasta saja, PNS memang dilahirkan untuk sekedar menggunakan dan cukup tahu apa yang diperlukan saja, tidak lebih, di kedudukan manapun dia, baik staf maupun pengambil kebijakan (nah, decision support system-nya biar dikerjakan swasta saja) << “bagi-bagi rezeki” ungkap salah seorang peserta diskusi.

Tapi saya sangat tidak setuju terhadap pembatasan pengetahuan yang boleh didapatkan seorang PNS, tidakkah lebih baik analisis suatu program dikerjakan oleh orang yang mengerti business process suatu organisasi? yang notabene hanya dikuasai sangat baik oleh orang yang berada dalam organisasi tersebut, dan tidakkah penguasaan ilmu analisis tersebut membutuhkan mata kuliah “Rekayasa Perangkat Lunak”? (first point)

Kedua, jika seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan teknis IT di kantor diserahkan sepenuhnya kepada pihak ketiga, tanpa ada sumber daya manusia PNS yang benar-benar menguasai paling tidak dasar aplikasi / hardware yang umumnya digunakan di dunia pelayanan publik, maukah pihak swasta setiap hari datang melayani gangguan kecil dan masalah teknis yang sering terjadi? akankah pihak ketiga bersedia dengan sabar mengajari satu persatu pegawai yang belum terbiasa menggunakan IT dan mengalami kesulitan yang berbeda-beda? dan maukah pegawai swasta datang ke kantor hanya untuk mengisi tinta printer yang habis? sabarkah mereka? wong mbetulin printer yang cuma ganti head saja bisa berbulan-bulan, atau, yang rusak harddisknya malah memori yang diganti, hah, selamat dibodohilah PNS!

Okey ketika segala sesuatu bergantung pada uang dan materi, anda tahu sendiri kan bagaimana urusan benda sensitif itu di kalangan pemerintah yang saat ini masih sering terjadi? justru karena budaya itu masih bertahan makanya diperlukan orang-orang berkeilmuan* tinggi dan bermoral baik (*:saya katakan berkeilmuan, bukan berpendidikan, karena kata yang terakhir sering mengecoh hanya berdasarkan berapa banyak titel yang disandang seseorang, bukan kualitas keilmuannya). Hah, masa sih selamanya PNS akan terus dibodohi hanya karena sebagian besar aparaturnya juga bodoh? bukan bodoh menurut saya, tapi doktrin dan kebiasaan PNS yang sudah mendarah daging, pikiran mereka hanya dijuruskan untuk menikmati kemudahan dan kenyamanan, bukan mental bekerja keras dan berbuat yang terbaik untuk masyarakat.

Saya bukan manusia sempurna, juga bukan PNS sempurna, namun saya masih idealis, yang justru seringkali membuat pusing 77 keliling. Tapi saya miris, melihat uang rakyat banyak yang dihamburkan, dengan alasan membuat aplikasi inilah itulah, yang ujung-ujungnya tidak juga berjalan dengan baik, alasannya butuh maintenance-lah, biaya lagi, dan yang bisa membetulkan hanya vendor. Saya minta aplikasi webbased yang bisa dikostumisasi sendiri, malah diberi hanya hasil compiled-nya, aah tapi masih sajaa tidak percaya dengan hasil kerja staf. Uh, masalahnya memang terlalu kompleks. Sudahlah, ini hanya sudut pandang saya saja, abaikanlah kalau tidak berguna, tolong dikoreksi jika cara berpikir saya salah. Saya hanya ingin kebutuhan ilmu tidak dideskriminasikan satu sama lain, hanya karena kami PNS? semoga judul saya di atas adalah salah besar, justru PNS tidak boleh bodoh kan?? *walaupun saya masih bodoh, hehe..* << jadi notulen aja kalimatnya masih acakadul ;p

Demikian, terimakasih telah membaca uneg-uneg saya. Kemarin saya tidak berkesempatan untuk berbicara langsung kepada pak SesMen, jadi saya tuliskan saja disini, biar agak plong, hehe..